FEMINISME DAN KONSEP KESETARAAN GENDER

 

FEMINISME DAN KONSEP KESETARAAN GENDER

Tohirin, Tohirin

Di alam demokratis, ide “kesetaraaan” semakin menemukan indung semangnya. Betapa hebatdan luarbiasanya kalimat ini sehingga seolah-olah tak seorang pun dapat menentangnya. Sebab, prinsip kesetaraan ini bukan hanya selaras dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), namun juga senapas dengan nilai-nilai agama (religious value) dan visi kenabian (prophetic vision). Kalau mau dirujuk ke dunia Barat,1 sesungguhnya benih keseteraan dan nilai-nilai HAM ini sudah mulai disemai sejak abad pencerahan (renaisance), sebuah fase di mana Barat bangun dari tidur gelapnya (the dark age). Masa-masa sebelumnya, dunia Barat didominasi oleh doktrin gereja yang sangat absolut dan non manusiawi (unhuman).Barat terus merangkak menuju masa yang lebih manusiawi. Sejarah mencatat, benih kemanusiaan (humanism) ala Barat ini menyiratkan traumatis mendalam terhadap agama. Humanisme Barat merupakan nalar kemanusiaan yang mendasarkan dirinya pada nilai-nilai materialis-antroposentris. Hasilnya, humanisme Barat kering dari sentuhan agama dan menempatkannya ke dalam sudut privasi. Agama menjadi perilaku subyektif yangtidak boleh dikaitkan, apalagi mengurusi domain publik (baca: sekulerisme). Masa-masaselanjutya adalah sebuah fase yang menggairahkan di mana hak asasi dan martabat kemanusiaan mendapatkan apresiasi positif di alam demokrasi. Sekarang tak ada lagi perbedaan yang mencolok antara penguasa dan rakyat. Semua orang berhak berbicara, menyampaikan pendapat yang berbeda, dan mendapatkan perlakuan yang sama.

Silahkan Unduh Disini!

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *